Ada cerita dan pemandangan menarik di Pulau Cangke Kabupaten Pangkajenne Kepulauan Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan.
Pulau Cangke |
Pulau berpasir putih dengan luas sekitar 10 kilometer persegi ini, jarak tempuhnya dari Kota Makassar menggunakan perahu tradisonal “Jolloro atau Katinting” sebutan perahu tradisional ini bagi orang Makassar kurang lebih dua jam setengah dari Pelabuhan Tradisional Poetere Makassar.
Selain panorama alam yang indah, setiap tahunnya selama dua bulan, penyu-penyu berdatangan ke pulau ini untuk bertelur lalu kembali ke laut bebas. Suasana di Pulau Cangke sangat sejuk karena banyaknya pohon yang tumbuh dan dijaga dengan baik oleh penghuni pulau tersebut. Tentu bukan hanya kesejukan udara daratan yang dapat dinikmati saat berada di pulau ini, tetapi kesejukan dan kejernihan airnya juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Pulau Cangke.
Saat berada di Pulau Cangke, untuk menikmati alam bawah lautnya tentu yang harus dilakukan adalah diving atau snorkeling dengan cara ini, maka keindahan trumbu karan dan kehidupan bawah lautnya dapat dinikmati. Tapi pada saat air laut surut tidak perlu diving atau snorkeling untuk menikmati itu semua, cukup berjalan kaki saja beberapa keindahan karan dan jenis ikan sudah bisa dinikmati.
Selain itu wisatawan akan dapat menikmati perairan dangkal berwana biru muda yang sangat jernih. Inilah karakter pulau-pulau di gugusan kepulauan Spermonde tersebut tepatnya pulau cangke.
Panorama bawah laut Cangke Island |
Walaupun Daeng Abu, menderita penyakit kusta, Sang Istri Maidah, tetap setia mendampingi suaminya hingga kini dimana kondisi Daeng Abu saat ini tidak bisa melihat dengan jelas lagi karena faktor usia.
Kedua pasangan ini, selama selama berada di Pulau Cangke, tidak hanya memperjuangkan cinta mereka agar tetap bertahan, tetapi keduanya juga memiliki semangat dan rasa tanggungjawab yang begitu besar terhadap Pulau Cangke. Dimana kelestarian Pulau Cangke yang dapat dinikmati saat ini merupakan kerja keras keduanya dalam menjaga kelestarian alam di pulau itu yang dulunya hanya pulau tandus.
Bukan hanya itu, saat-saat tertentu, yakni pada musim penyu bertelur. Mereka berdua juga yang akan memastikan telur-telur itu menetas dan melahirkan generasi baru.
Meski hidup dengan penuh keterbatasan dan terasing di sebuah pulau di laut selat makassar, Daeng Abu dan Maidah tidak larut dalam kesedihan. Apapun yang terjadi kehidupan harus terus berlanjut dengan tetap semangat dan terus bersyukur. Mungkin bagi Daeng Abu dan Maidah, harta yang paling berharga itu adalah kasih sayang tulus diantara mereka.
Dengan demikian, selain dapat menikmati keindahannya para pengunjung pun mendapatkan pelajaran hidup yang berharga tentang keteguhan hati seorang Daeng Abu yang diasingkan. Dan tentang kesetiaan Maidah yang sabar mendampingi suaminya, serta ketulusan menjaga alam. | Hasmiati Mus
COMMENTS